Universalisasi norma moral dalam teori etika diskursus Jürgen Habermas

Prastiyo, Ferdian Dwi (2017) Universalisasi norma moral dalam teori etika diskursus Jürgen Habermas. Undergraduate thesis, Widya Mandala Catholic University Surabaya.

[thumbnail of ABSTRAK]
Preview
Text (ABSTRAK)
ABSTRAK.pdf

Download (724kB) | Preview
[thumbnail of BAB 1]
Preview
Text (BAB 1)
BAB I.pdf

Download (184kB) | Preview
[thumbnail of BAB 2] Text (BAB 2)
BAB II.pdf
Restricted to Registered users only

Download (342kB)
[thumbnail of BAB 3] Text (BAB 3)
BAB III.pdf
Restricted to Registered users only

Download (427kB)
[thumbnail of BAB 4] Text (BAB 4)
BAB IV.pdf
Restricted to Registered users only

Download (337kB)

Abstract

Karya tulis ini berjudul “UNIVERSALISASI NORMA MORAL DALAM TEORI ETIKA DISKURSUS JÜRGEN HABERMAS”. Ada dua permasalahan pokok yang hendak dikaji dalam karya tulis ini: (1) apa itu etika diskursus Jürgen Habermas; (2) bagaimana universalisasi norma moral menurut etika diskursus. Tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah untuk mengkaji dan mempelajari pemikiran universalisasi norma moral dalam teori etika diskursus Jürgen Habermas. Untuk itu, penulis menggunakan metode penulisan berupa studi pustaka. Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, penulis akan memaparkan gagasan-gagasan mengenai universalisasi norma moral dalam teori etika diskursus Jurgen Habermas sebagai berikut: Pertama, pemikiran filosofis Habermas berangkat dari upaya pencarian syarat kemungkinan kehidupan bersama secara politis di dalam masyarakat-masyarakat kompleks dewasa ini. Teori diskursus adalah pengembangan Teori Kritis dengan menambahkan gagasan tentang rasio komunikatif. Habermas kemudian merumuskan pemikirannya tentang unsur dasar pembentuk masyarakat, yaitu tindakan komunikatif. Habermas kemudian mengembangkan konsep Lebenswelt (dunia-kehidupan) sebagai pelengkap untuk konsep tindakan komunikatif. Dengan tujuan untuk kembali mencapai suatu integrasi sosial, maka dunia-kehidupan harus semakin rasional. Rasionalisasi dunia-kehidupan berarti bahwa semakin banyak bidang dihayati menurut kriteria yang dapat dipertanggungjawabkan dalam sebuah diskursus bersama. Berangkat dari pemikiran tentang tindakan komunikatif Habermas kemudian merumuskan pemikiran tentang teori diskursus. Dalam diskursus, suatu konsensus dihasilkan pada taraf yang reflektif dengan memakai sarana argumentasi. Habermas kemudian membedakan teori diskursus dalam dua bidang besar, yaitu diskursus teoretis dan diskursus praktis. Diskursus teoretik adalah analisa tentang struktur dan syarat klaim kebenaran yang masih bersifat hipotetis apakah diterima atau ditolak secara argumentatif. Dalam diskursus teoretik Habermas membahas tentang konsep “situasi percakapan ideal” menyediakan landasan untuk pembahasan mengenai diskursus praktis. Di dalam proyek etika diskursus Habermas memusatkan diri pada tipe diskursus praktis. Kedua, etika diskursus merupakan suatu praksis komunikasi yang bertujuan mencapai pemahaman bersama tentang suatu masalah berkaitan dengan legitimasi norma moral. Habermas merumuskan pemikiran tentang etika diskursus dengan memusatkan gagasannya pada tipe diskursus praktis. Di dalam tipe diskursus ini para peserta mempersoalkan klaim ketepatan dari norma-norma yang mengatur tindakan mereka dalam hidup bersama. Tujuan dari diskursus praktis adalah pemahaman timbal-balik antar norma-norma tindakan yang dipatuhi bersama. Hanya konsensus yang diterima oleh semua partisipan secara intersubjektif dan tanpa paksaan dapat dianggap rasional. Etika diskursus dirumuskan oleh Habermas dalam kerangka gagasan besar untuk menyusun suatu pemikiran tentang integrasi sosial dalam masyarakat dapat diwujudkan. Habermas melihat bahwa integrasi sosial tidak lagi didasarkan pada norma-norma tradisional melainkan dari norma-norma yang dapat berlaku universal melalui pengujian intersubjektif. Habermas juga menyatakan bahwa etika diskursus adalah teori tentang moralitas. Habermas memberikan suatu pengertian yang distingtif tentang pengertian moral, yaitu “yang etis” (bersifat partikular) dan “yang moral” (bersifat universal). Habermas mengungkapkan bahwa moral adalah suatu yang bersifat “proseduralistis”, yakni sesuatu yang berkaitan dengan pertanyaan bagaimanakah hubungan-hubungan interpersonal dapat diatur secara adil. Ketiga, Habermas mengemukaan pokok etika diskursus adalah penetapan norma moral melalui proses universalisasi. Melalui proses universalisasi norma moral, Habermas menyatakan bahwa terdapat norma-norma yang dapat diberlakukan untuk kehidupan bersama. Dalam mencapai suatu norma moral yang bersifat absah, universalisasi norma moral adalah suatu prosedur yang menuntun pada proses penetapan norma-norma moral yang rasional dan universal. Universalisasi norma moral senantiasa berangkat dari gagasan tentang kepentingan-kepentingan yang dapat diuniversalkan (universalizable interests). Habermas juga menyatakan bahwa diskursus nyata yang membahas tentang norma-norma moral yang dipertanyakan harus mampu melampaui perspektif pribadi yang terbatas menuju suatu komunitas komunikasi yang tidak terbatas (unlimited communication community). Dalam proses universalisasi norma moral terdapat dua prinsip dasar yaitu prinsip universalisasi (“U”) dan prinsip etika diskursus (“D”). Prinsip universalisasi (“U”) disebut juga sebagai prinsip moral. Prinsip ini ditujukan untuk menguji validitas suatu norma moral berkaitan dengan apakah norma tersebut dapat diuniversalkan atau tidak. Habermas menyebut prinsip universalisasi (“U”) atau prinsip moral sebagai suatu prinsip jembatan yang menuntun pada prinsip etika diskursus (“D”). Prinsip etika diskursus (“D”) ini bertujuan untuk memastikan bahwa semua yang bersangkutan memang menyetujui akibat dan efek-efek norma tersebut apabila diberlakukan secara universal. Habermas berupaya untuk membuktikan keabsahan prinsip universalisasi (“U”) dengan memakai sebagai metode pembuktian yang disebutnya sebagai pragmatis-transendental. Melalui metode ini Habermas hendak menyatakan bahwa hanya kalau prinsip universalisasi (“U”) diakui keberlakuannya maka orang dapat ikut dalam sebuah diskursus moral. Pembuktian prinsip penguniversalan kemudian menyatakan keterkaitan antara prinsip universalisasi (“U”) dan prinsip etika diskursus (“D”). Pertama, seseorang yang hendak masuk ke dalam sebuah argumentasi, maka ia mau atau tidak mau harus menerima peraturan-peraturan diskursus tadi. Kedua, dengan demikian ia juga menyetujui bahwa masalah-masalah bersama harus diatur sesuai dengan kepentingan bersama mereka yang bersangkutan. Prosedur universalisasi norma moral sebagai pokok dalam etika diskursus kemudian diterapkan Habermas dalam bidang politik. Penerapan ini berkaitan dengan tujuan utama gagasan Habermas untuk mewujudkan gagasan tentang integrasi sosial. Habermas menarik suatu konsekuensi dari prosedur etika diskursus dalam hidup politis dalam pemikiran tentang demokrasi deliberatif. Dalam pemikiran tentang demokrasi deliberatif Habermas menjelaskan tentang kekuatan komunikatif masyarakat sipil untuk menyokong proses-proses pembuatan norma-norma publik agar terarah pada integrasi sosial. Kata kunci: teori diskursus, integrasi sosial, diskursus praktis, etika diskursus, universalisasi norma moral

Item Type: Thesis (Undergraduate)
Department: ["eprint_fieldopt_department_Faculty of Philosophy" not defined]
Uncontrolled Keywords: Teori diskursus, integrasi sosial, diskursus praktis, etika diskursus, universalisasi norma moral
Subjects: Philosophy
Divisions: Faculty of Philosophy > Philosophy Science Study Program
Depositing User: Users 4202 not found.
Date Deposited: 12 Jun 2017 03:22
Last Modified: 12 Jun 2017 03:22
URI: http://repository.ukwms.ac.id/id/eprint/11003

Actions (login required)

View Item View Item